Minggu, 19 September 2010

Program MIFEE Merampas Hak Hidup Masyarakat.

Program MIFEE Merampas Hak Hidup Masyarakat.
Jayapura, 11 Agustus 2010. 
Pemerintah pusat dan investor masih cenderung melihat tanah Papua ini tidak bertuan. Mereka hanya mempeta-petakan sumber daya alam dan tanah sementara manusianya tidak dihiraukan. Sejak konggres nasional Papua ke II, agenda Dewan Adat Papua adalah menyelamatan manusia Papua dan alam lingkungan Papua termasuk tambang, hutan, laut, sungai, untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat adat Papua. Ada upaya konsolidasi dengan semua organ-organ milik orang Papua. Untuk menjalankan agenda ini maka dibentuklah organisasi yang bersifat rekayasa sosial, di luar struktur asli kepemimpinan adat masing-masing suku. Ada 7 wilayah adat di Papua yaitu wilayah 1, Mamta/Tabi meliputi Mamberamo sampai Tami; wilayah 2, Saereri, Biak Numfor, Serui, Yapen, Waropen, Nabire pantai; wilayah 3, Domberai meliputi Manokwari sampai Raja Ampat; wilayah 4, Bomberai meliputi Fak-fak, Kaimana, Timika; wilayah 5 Anim Ha, meliputi Merauke, Boven Digul, Mappi, Asmat; wilayah 6 Lapago, meliputi Jayawijaya yang dulunya disebut sebagai Jayawijaya, dan yang terakhir wilayah 7, Meepago, meliputi daerah Wissel Meren Paniai dan sekitarnya. Dalam filosofi masyarakat adat Papua, tanah adalah mama yang artinya melahirkan, memberikan kehidupan, menyusui, membesarkan, bahkan ketika sampai mati akan kembali ke tanah juga. Dalam perspektif ekonomi, tanah adalah sumber ekonomi terpenting dan utama. Maka pelaksanaan pembangunan ekonomi yang benar seharusnya adalah berbasis kerakyatan dan harus ada perjanjian dengan pemilik tanah adat. Program MIFEE menujukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak menghargai hak-hak masyarakat adat dan juga konvensi-konvensi internasional.
Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yaboisembut, mengungkapkan hal itu dalam kegiatan diskusi publik dengan judul: _Investasi di Tanah Papua, khususnya MIFEE: Petaka atau Berkat bagi Masyarakat Adat Papua_ yang diselenggarakan oleh Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE (SORPATOM) dan KKRS STFT Fajar Timur dan didukung oleh Mirewit Study Center dan SKP-KC Fransiskan Papua.
Pimpinan SKP-KC Fransiskan Papua, Br. Rudolf Kambayong, mengajak pemerintah dan investor untuk memahami posisi masyarakat asli dan hak-hak hidup mereka. Masyarakat asli perlu didengar pendapatnya. Mereka adalah pelaku pembangunan dan bukan korban dari suatu rencana pemerintah.
Staf ahli gubernur mengusulkan perlunya memikirkan cara menekan dampak negatif serendah-rendahnya dari proyek MIFEE ini. Untuk itu jalan keluar yang ditawarkannya adalah pemanfaatan lahan-lahan transmigrasi yang sudah ada seluas 2,1 jt ha. Fakta sekarang menunjukkan bahwa anak-anak para transmigran banyak yang sudah tidak mau menjadi petani lagi. Mereka memilih untuk tinggal di kota dan menjadi pegawai negeri atau swasta. Maka akan ada sekitar 50% dari lahan pertanian transmigrasi yang statusnya menjadi lahan tidur dan jika dihitung luasannya sekitar 750 ribu hektar sampai 1 juta hektar, sesuai dengan kebutuhan MIFEE. Dengan demikian tidak perlu menebang hutan untuk memenuhi kebutuhan lahan bagi MIFEE. Ditambahkannya, konsep yang akan diterapkan di MIFEE meniru konsep teknologi pangan yang diterapkan di Brasil. Brasil telah mengalami kemandirian pangan dan tidak mengimpor pangan lagi. Meskipun demikian proyek itu telah mengorbankan lahan hutan yang sangat luas. Lebih lanjut dikatakan jika pemerintah menggunakan lahan transmigrasi maka tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar 100 trilyun rupiah untuk pembangunan infrastruktur karena kondisi infrastruktur di kawasan-kawasan transmigrasi adalah yang paling baik dibandingkan di kawasan lainnya.
Salah seorang peserta diskusi, Harry M, mengusulkan supaya dilakukan analisa bidang pertahanan dan keamanan menyangkut proyek MIFEE. Seperti diketahui bersama, Merauke memiliki jumlah aparat keamanan yang sangat tinggi, dapat dikatakan mungkin setengah dari jumlah penduduk di Merauke adalah aparat TNI dan Polisi. Papua punya pengalaman buruk bahwa dari sekian banyak perusahaan yang beroperasi di Papua menggunakan kekuatan militer untuk memproteksi wilayah perusahaannya. Maka masyarakat setempat akan tertekan dan ketakutan dengan situasi tersebut. Besar kemungkinan akan terjadi pelanggaran HAM di kawasan ini, sebab sebelumnya saja sudah terjadi pelanggaran HAM yang cukup tinggi akibat kehadiran aparat keamanan di wilayah ini. Masyarakat perlu tahu siapa yang akan mengamankan MIFEE, apakah tenaga keamanan lokal ataukah adalah institusi khusus yang akan dipakai. Hal ini penting sehingga ke depannya jika terjadi konflik maka dapat diketahui secara jelas siapa pelaku dan bagaimana menyelesaikan konflik tersebut.

Diskusi yang diselenggarakan oleh SORPATOM yang sebagian besar beranggotakan mahasiswa dan pemuda asal Papua Selatan bertujuan untuk saling tukar pendapat demi mencari jalan keluar dari persoalan yang muncul dengan hadirnya program MIFEE di Merauke. Semoga upaya SORPATOM dan dukungan kita semua dapat menghantar orang asli Papua mendapatkan kesejahteraannya.
 ( dikutip dari Website-HAM PAPUA )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar